5 pilar keluarga Sakinah
Masyarakat adalah cerminan kondisi keleuarga,
jika keluarga sehat berarti masyarakatnya juga sehat. Jika keluarga bahagia
berarti masyarakatnya juga bahagia. Ada
5 pilar untuk membentuk keluarga sakinah diantaranya sebagai berikut.
1.
Dalam keluarga itu ada mawaddah dan rahmah (Q/30:21).
Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu dan "nggemesi", sedangkan rahmah
adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap melindungi kepada yang
dicintai. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga, sebaliknya,
rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah.
2. Hubungan
antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan
yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi
pakaian ada tiga, yaitu
(a) menutup aurat,
(b) melindungi diri dari panas dingin, dan
(c) perhiasan.
Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran tampil menarik orang banyak, di rumah "nglombrot" menyebalkan.
(a) menutup aurat,
(b) melindungi diri dari panas dingin, dan
(c) perhiasan.
Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran tampil menarik orang banyak, di rumah "nglombrot" menyebalkan.
3.
Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang
secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`a
syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan
sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus
diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok
perbedaannya.
4. Menurut
hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat (idza aradallohu bi ahli
baitin khoiran dst);
(a) memiliki kecenderungan kepada agama,
(b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda,
(c) sederhana dalam belanja,
(d) santun dalam bergaul dan
(e) selalu introspeksi.
(a) memiliki kecenderungan kepada agama,
(b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda,
(c) sederhana dalam belanja,
(d) santun dalam bergaul dan
(e) selalu introspeksi.
5.
Menurut hadis Nabi juga, empat hal akan menjadi
faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar'i),
yakni
(a) suami / isteri yang setia (saleh/salehah),
(b) anak-anak
yang berbakti,
(c) lingkungan sosial yang sehat , dan
(d) dekat rizkinya.
(a) suami / isteri yang setia (saleh/salehah),
(b) anak-anak
yang berbakti,
(c) lingkungan sosial yang sehat , dan
(d) dekat rizkinya.
Keluarga sakinah adalah idaman setiap manusia. Tapi
tidak jarang dari mereka menemukan jalan buntu, baik yang berkecupan secara
materi maupun yang berkekurangan. Apa sebenarnya rahasianya? Mengapa kebanyakan
manusia sulit menemukannya? Mengapa sering terjadi percekcokan dan pertengkaran
di dalam rumah tangga, yang kadang-kadang akibatnya meruntuhkan keutuhan
rumah tangga?
Padahal Allah swt menyebutkan perjanjian untuk membangun rumah tangga
sebagai perjanjian yang sangat kuat dan kokoh yaitu “Mîtsâqan ghalîzhâ. Allah
swt menyebutkan kalimat “Mîtsâqan ghalîzhâ hanya dalam dua hal: dalam membangun
rumah tangga, dan dalam membangun missi kenabian. Tentang “Mîtsâqan ghalîzhâ
dalam urusan rumah tanggah terdapat dalam surat
An-Nisa’: 21. Adapun dalam hal missi kenabian terdapat dalam surat
An-Nisa’: 154, tentang perjanjian kaum nabi Musa (as); dan dalam surat Al-Ahzab: 7,
tentang perjanjian para nabi: Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (as). Bangunan rumah
tangga bagaikan bagunan missi kenabian. Jika bangunan runtuh, maka maka
runtuhlah missi kemanusiaan. Karena itu Rasulullah saw bersabda: “Perbuatan
halal yang paling Allah murkai adalah perceraian.” Sebenarnya disini ada suatu
yang sangat rahasia. Tidak ada satu pun perbuatan halal yang Allah murkai
kecuali perceraian. Mengapa ini terjadi dalam perceraian? Tentu masing-masing
kita punya jawaban, paling tidak di dalam hati dan pikiran. Dan saya tidak akan
menjawab masalah ini, perlu pembahasan yang cukup rinci dan butuh waktu yang
cukup lama. Tentu perlu farum tersendiri.
Keluarga sakinah sebagai idaman setiap manusia
tidak mudah diwujudkan sebagaimana tidak mudahnya mewujudkan missi kenabian
oleh setiap manusia. Perlu persyaratan-persyaratan yang ketat dan berat.
Mengapa? Karena dua persoalan ini bertujuan mewujudkan kesucian. Kesucian
berpikir, mengolah hati, bertindak, dan gerasi penerus ummat manusia. Karena
itu, dalam bangunan rumah tangga Allah swt menetapkan hak dan kewajiban. Maaf
saya pinjam istilah AD/ART. Bangunan yang lebih kecil missinya dari bangunan
rumah tangga punya AD/ART, vissi dan missi. Bagaimana mungkin bangunan yang
lebih besar tidak punya AD/ART, Vissi dan Missi bisa mencapai tujuan? Tentu
AD/ART, Missi dan Missi dalam rumah tangga, menurut saya, tidak bisa dibuat
berdasarkan mu’tamar atau kongres atau musyawarah seperti layaknya organisasi
umumnya. Dalam hal rumah tangga kita jangan coba-coba buat AD/ART sendiri,
pasti Allah swt tidak ridha dan murka. Karena itu Allah swt menetapkan hak dan
kewajiban dalam bangunan rumah tangga. Tujuannya jelas mengantar manusia pada
kebahagiaan, sakinah, damai dan tenteram sesuai dengan rambu-rambu yang
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Menurut pemahaman saya, tidak cukup AD/ART itu
dalam bentuk tek dan buku, perlu sosok contoh yang telah mewujudkan AD/ART itu.
Siapa mereka? Ini juga perlu farum khusus untuk membahasnya secara detail dan
rinci. Tapi sekilas saja saya ingin mengantarkan pada diskusi contoh tauladan
rumah tangga yang telah mewujudkan keluarga sakinah. Dan ini tidak akan
terbantah oleh semua kaum muslimin. Yaitu rumah tangga Rasulullah saw dengan
Sayyidah Khadijah Al-Kubra (sa), dan rumah tangga Imam Ali bin Abi Thalib (sa)
dengan Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ (sa).
Disini sebenarnya ada hal yang sangat menarik
dikaji, khususnya bagi kaum wanita dan kaum ibu. Apa itu? Fakta berbicara bahwa
Rasulullah saw banyak dibicarakan oleh kaum laki-laki bahwa beliau contoh
poligami, kemudian mereka melaksanakan dengan dalil mencontoh Rasulullah saw.
Tapi kita harus ingat kapan Rasulullah saw berpoligami? Dan mengapa beliau
melakukan hal ini? Pakta sejarah berbicara bahwa Rasulullah saw tidak melakukan
poligami saat beliau berdampingan dengan Khadijah sampai ia meninggal. Mengapa?
Kalau alasannya perjuangan. Bukankah di zaman dengan Khadijah beliau tidak
berjuang? Justru saat-saat itu perjuangan beliau sangat berat. Dimanakah letak
persoalannya? Lagi-lagi menurut saya, pribadi Khadijah yang luar biasa, sosok
seorang isteri yang benar-benar memahami jiwa dan profesi suaminya. Sehingga
Rasulullah saw tidak pernah melupakan Khadijah walaupun sudah meninggal, dan disampingnya
telah ada pendamping wanita yang lain bahkan tidak satu isteri. Kaum wanita
khususnya kaum ibu, kalau ingin keluarga sakinah harus mempelajari sosok
Khadijah Al-Khubra (sa), supaya suaminya tidak mudah terpikat hatinya pada
perempuan yang lain.
Sekarang tentang keluarga Imam Ali dengan Fatimah
Az-Zahra (sa). Sejarah bercerita pada kita bahwa Rasulullah saw sangat menyukai
rumah tangga puterinya dengan kehidupan sederhana bahkan sangat sederhana.
Saking sederhananya, hampir-hampir tidak mampu dijalani oleh ummatnya,
khususnya sekarang. Sama dengan Rasulullah saw Imam Ali (sa) saat berdampingan
dengan Fatimah puteri Nabi saw beliau tidak berpoligami. Beliau berpoligami
setelah Fatimah Az-Zahra’ meninggal. Ada
apa sebenarnya dengan dua wanita ini, sepertinya mereka dapat mengikat
laki-laki tidak kawin lagi? Apa Imam Ali takut dengan Fatimah, atau Rasulullah
saw takut dengan Khadijah? Atau sebaliknya, Khadijah berani dan menundukkan
Rasululah saw, juga Fatimah (sa) seperti itu terhadap suaminya? Tentu
jawabannya tidak. Lalu mengapa? Jawabannya perlu forum tersendiri untuk kita
diskusikan dan mengambil pelajaran darinya. Sebagi konsep dasar diskusi kita:
Perempuan adalah sumber sakinah, bukan laki-laki. Mari kita perhatikan firman
Alla swt:
“Di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya Dia menciptakan untuk kalian isteri dari species kalian agar
kalian merasakan sakinah dengannya; Dia juga menjadikan di antara kalian rasa
cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berpikir.” (Ar-Rûm: 21).
Dalam ayat ini ada kalimat “Litaskunû”, supaya
kalian memperoleh atau merasakan sakinah. Jadi sakinah itu ada pada diri dan
pribadi perempuan. Laki-laki harus mencarinya di dalam diri dan pribadi
perempuan. Tapi perlu diingat laki-laki harus menjaga sumber sakinah, tidak
mengotori dan menodainya. Agar sumber sakinah itu tetap terjaga, jernih dan
suci, dan mengalir tidak hanya pada kaum bapak tetapi juga anak-anak sebagai
anggota rumah tangga, dan gerasi penerus. Kita bisa belajar dari fakta dan
relialita. Kaum isteri yang sudah ternoda mata air sakinahnya berdampak pada
anak-anak sebagai penerus ummat Rasulullah saw. Siapa yang paling berdosa?
Jelas yang mengotori dan menodainya.
0 comments:
Post a Comment