Paling
tidak harus ada 4 (empat) hal pokok yang menjadi rukun atas syahnya sebuah
pernikahan. Bila salah satu dari semua itu tidak terpenuhi, batallah status
pernikahan itu. Yaitu [1] Wali, [2] Saksi, [3] Ijab Kabul (akad) [4] Mahar.
I.
Wali
Keberadaan
wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi
antara wali dengan pengantin laki-laki. Bukan dengan pengantin perempuan.
Sering
kali orang salah duga dalam masalah ini. Sebab demikianlah Islam mengajarkan
tentang kemutlakan wali dalam sebuah akad yang intinya adalah menghalalkan
kemaluan wanita. Tidak mungkin seorang wanita menghalalkan kemaluannya sendiri
dengan menikah tanpa adanya wali.
Menikah
tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap
berzina. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا
اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا
وَلِيَّ لَهُ
Dari
Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapapun wanita yang
menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu)
menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah
dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka
yang tidak punya wali.
(HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى عَنْ
أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r لا
نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ
Dari
Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)
Dari Al-Hasan dari Imran
marfu'an,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi".(HR
Ahmad).
1.
Siapakah yang bisa menjadi wali ?
Wali
tidak lain adalah ayah kandung seorang wanita yang secara nasab memang syah
sebagai ayah kandung. Sebab bisa jadi secara biologis seorang laki-laki menjadi
ayah dari seorang anak wanita, namun karena anak itu lahir bukan dari
perkawinan yang syah, maka secara hukum tidak syah juga kewaliannya.
2.
Syarat Seorang Wali
2.1.
Beragama Islam
Islam,
seorang ayah yang bukan beragama islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi
pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya
kepada adanya Allah SWT (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan
anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini :
وَلَن
يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلاً
Dan
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.(QS.
An-Nisa : 141)
2.2.
Berakal
Berakal,
maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila menjadi
wali bagi anak gadisnya.
2.3.
Baligh
Maka
seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah
bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
2.4.
Merdeka
Dengan
demikian maka seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota
familinya, meski pun beragama ISlam, berakal, baligh.
3.
Urutan Wali
Dalam
mazhab syafi'i, urutan wali adalah sebagai berikut :
3.1.
Ayah kandung
3.2.
Kakek, atau ayah dari ayah
3.3.
Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
3.4.
Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah saja
3.5.
Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
3.6.
Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
3.7.
Saudara laki-laki ayah
3.8.Anak
laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)
Daftar
urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah
kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh
wawli pada nomor urut berikutnya.Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi
izin dan haknya itu kepada mereka.
Penting
untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu
kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa
sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama
setempat untuk menjadi wakil dari wali yang syah. Dan untuk itu harus ada akad
antara wali dan orang yang mewakilkan.
Dalam
kondisi dimana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah,
maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang
dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak
menjadi wali.
Sehingga
bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada
kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak
memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak
perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk
menikahkan anak gadisnya.
Namun
hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari
wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah
dan harus dipisahkan saat itu juga.
4.
Wali 'Adhal
Seorang
ayah kandung yang tidak mau menikahkan anak gadisnya disebut dengan waliyul
adhal, yaitu wali yang menolak menikahkan.
Dalam
kondisi yang memaksa dan tidak ada alternatif lainnya, seorang hakim mungkin
saja menjadi wali bagi seorang wanita. Misalnya bila ayah kandung wanita itu
menolak menikahkan puterinya sehingga menimbulkan mudharat. Istilah yang sering
dikenal adalah wali ?adhal.
Namun
tidak mudah bagi seorang hakim ketika memutuskan untuk membolehkan wanita
menikah tanpa wali aslinya atau ayahnya, tetapi dengan wali hakim. Tentu harus
dilakukan pengecekan ulang, pemeriksaan kepada banyak pihak termasuk juga
kepada keluarganya dan terutama kepada ayah kandungnya.
Dan
untuk itu diperlukan proses yang tidak sebentar, karena harus melibatkan banyak
orang. Juga harus didengar dengan seksama alasan yang melatar-belakangi orang
tuanya tidak mau menikahkannya.
Sehingga
pada titik tertentu dimana alasan penolakan wali ?adhal itu memang dianggap
mengada-ada dan sekedar menghalangi saja, bolehlah pada saat itu hakim yang
syah dari pengadilan agama yang resmi memutuskan untuk menggunakan wali hakim.
Misalnya untuk menghindari dari resiko zina yang besar kemungkinan akan
terjadi, sementara ayah kandung sama sekali tidak mau tahu.
Tetapi
sekali lagi, amat besar tanggung-jawab seorang hakim bila sampai dia harus
mengambil-alih kewalian wanita itu. Dan tentu saja keputusan ini harus melalui
proses yang syah dan resmi menurut pengadilan yang ada. Bukan sekedar
hakim-hakiman dengan proses kucing-kucingan.ÿ