BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut data UNICEF(The United Nations Children’s Fund) dan WHO(World Health Organization) pada tahun 2009, diare merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita di dunia, nomor
tiga pada bayi dan nomor lima bagi sejumlah umur. Data UNICEF memperkirakan
bahwa 1,5 juta anak meninggal dunia setiap tahunnya karena diare. Angka tersebut lebih besar dari korban AIDS, malaria dan
cacar jika digabung, sayangnya dibeberapa negara berkembang hanya 39
% penderta mendapatkan penanganan serius (Hillevd, 2011).
Diare adalah
merupakan salah satu penyakit menular dengan peningkatan kasus kesakitan
dan kematian yang signifikan di bereapa daerah Indonesia, terutama pada
golongan umur di bawah lima tahun masih merupakan masalah kesehatan yang harus
dapat diperhatikan yang lebih serius dari berbagai lapisan masyarakat, terutama
pemerintah melalui bidang kesehatanya (Hidayat, 2006).
Pada anak dan keluarga diare merupakan masalah yang kompleks, masalah yang sering timbul akibat diare seperti
kurangnya volume cairan, kurangnya
nutrisi, gangguan intergritas kulit, kurangnya pengetahuan (keluarga),
kecemasan dan ketakutan. Masalah kurang
pengetahuan (keluarga) pada anak dengan diare ini dapat disebabkan oleh karena
informasi yang kurang atau budaya yang menyebabkan tidak mementingkan pola
hidup yang sehat. Sehingga rasa ingin tahu masih kurang, khususnya dalam penanganan
diare. Untuk itu rencana yang dilakukan adalah mengatasi agar keluarga memahami
atau mengetahui cara mengatasi masalah diare (Hidayat, 2006).
Tingginya kasus diare dapat
disebabkan oleh lingkungan dan prilaku masayarakat karena diare merupakan salah
satu penyakit berbasis lingkungan (Depkes RI, 2000).
Menurut Alimul, 2007
ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya diare
pada bayi dan balita yaitu faktor pendidikan, lingkungan, pengetahuan dan
sosial ekonomi, bisa juga disebabkan faktor malabsorbsi gizi dan psikoligi.
Penyakit diare apabila tidak segera ditangani dapat
menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya yaitu terjadinya dehedrasi,
renjatan hipovolemik, hipokalamia, intolerasi laktosa sekunder, kejang dan
kurang energi protein (FKUI, 2005).
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan
kematian anak terutama di negara berkembang, dengan perkiraan sekitar 1,5
milyar dan 1,5-2,5 juta kematian tiap tahun.Sekitar 85% kematian yang
berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan (Misnadiarly,
2005). Menurut laporan Dep Kes RI (2009), di Indonesia setiap anak mengalami
diare 1,6-2 kali setahun dan angka kematian dengan diare sebanyak 20,3 %.
Menurut survei pemberantasan penyakit diare tahun
2009 bahwa angka kesakitan atau insiden diare terdapat 301 per 1000 penduduk di
Indonesia. Angka kesakitan diare pada balita adalah 1,0-1,5 kali per tahun.
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI (2009), bahwa 10%
penyebab kematian bayi adalah diare. Data statistik menunjukkan bahwa setiap
tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan dua pertiganya adalah bayi
dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Widjaj, 2009).
Pemerintahan
Aceh, kejadian diare menduduki urutan ke empat dari 10 besar penyakit sebesar
18,9% pada tahun 2010. Berdasarkan dari data di Dinas Keehatan Kabupaten
Bireuen tahun 2010 terdapat 98
bayi usia 4-6 bulan yang terkena diare. Sedangkan laporan dari Rumah
Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen yang terkena diare pada bayi usia 4-6 bulan berjumlah
45 orang bayi dan balita (Rekan Medis Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen)
Terkait dengan uraian di atas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian “ Gambaran Pengetahuan
Ibu Tentang Diare Pada Bayi di Poliklinik Anak Rumah Sakit Umum dr. Fauziah
Bireuen Tahun 2011”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana? Pengetahuan Ibu Tentang Diare
Pada Bayi di Poliklinik Anak Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2011
Kabupaten Bireuen.
C.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran Pengetahuan Ibu Tentang
Diare Pada Bayi di Poliklinik Anak Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun
2011.
2.
Tujuan Khusus
a. Untuk
mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian diare.
b. Untuk
mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang penyebab diare .
c. Untuk
mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang tanda dan gajala diare.
d. Untuk
mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang pencegahan diare.
e. Untuk
mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang penatalaksanaan diare.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi Responden
Memberikan
informasi atau pengetahuan, serta menambah wawasan ibu tentang diare.
2. Bagi
Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan
bagi pihak poliklinik Anak Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen tentang pentingnya penanganan dan pencegahan diare.
3.
Bagi Insitusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan masukan dalam meningkatkan pengetahuan dan untuk melanjutkan penelitian selanjutnya.
4. Bagi Peneliti
Untuk memperdalam
ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di bangku kuliah serta dapat menambah
wawasan dan pengalaman dalam menyusun karya tulis ilmiah.
E.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya menfokuskan pada Pengetahuan
Ibu Tentang Diare Pada Bayi di Poliklinik Anak Rumah Sakit Umum dr. Fauziah
Bireuen.
F.
Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengetahuan
ibu tentang diare pada bayi adalah sebagai berikut :
1. Rismayani
(2009), meneliti Pengaruh Persepsi Ibu Balita Tentang Penyakit Diare
Terhadap Tindakan Pencegahan Diare di Keluharan Terjun Kecamatan Medan Marelan.
2. Hamdani (2008) meneliti Pengaruh Faktor Upaya Pengobatan dan
Pencegahan yang di Lakukan Ibu Pada Balita Terhadap Penyakit Diare Di Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya.
3. Yessi (2008), meneliti Hubungan Pengetahuan,
Sikap dan Perikaku Ibu Tentang Pencegahan Diare di Wilayah Kerja Puskesmas
Grogol Depok .
4. Dari beberapa penelitian di atas tidak mempunyai
kesamaan dengan yang akan penulis teliti. Sehingga penelitian ini dapat
dikatakan asli.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengetahuan
1.
Pengertian
Pengetahuan adalah
hasil tahu yang terjadi setelah manusia melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata
dan telinga. Teori pengetahuan berkaitan dengan sumber-sumber pengetahuan.
(Notoatmodjo, 2003)
2.
Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang
tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2003),
yaitu:
a. Tahu (Know)
7
|
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan
sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebabkan
contoh, menyimpulkan, mengamalkan dan sebagainya terhadap objek yang
dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi real (sebenarnya).
Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks situasi yang lain.
d. Analisa (Analysis)
Analisis adalah
suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih
ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat mengambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokkan dan sebagianya.
e. Sintesis
(Syinthesis)
Sistem menunjukkan
kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi
yang ada. Misalnya dapat menyusun, pemerencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebaliknya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini
berkaitan denagan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu meteri atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhui pengetahuan
Menurut Meliono,(2006) faktor yang mempengaruhi
sumber pengetahuan adalah :
a. pendidikan
adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
b. Media
yang secara khusus di desain untuk mencapai masyarakat yang luas
(
televise, Koran, majalah, dan lain-lain).
c. Keterpaparan informasi yaitu sesutu yang dapat
diketahui, namun ada yang menekankan informasi sebagai trasnsfer pengetahuan.
B.
Diare
1.
Pengertian Diare
Menurut WHO (2000), secara klinis diare
didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari
biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja
(menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam
sindroma diare cair akut, disentri, dan diare persisten. Sedangkan menurut
Depkes RI (2005), diare adalah salah penyakit dengan tanda-tanda adanya
perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan
bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam
sehari.
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya
kekerapan, bertambah cairan, atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan,
akan tetapi hal ini sangat relatife terhadap kebiasaan yang ada pada penderita
dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila diare berlangsung antara
satu sampai dua minggu maka dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto,
2002).
2.
Penyebab Diare
Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya diare pada balita, yaitu (Depkes RI, 2007):
a. Tidak
memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang
tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar dari pada yang diberi ASI
penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.
b. Menggunakan
botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencermaran oleh kuman karena botol
susu dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai selama
berjam-jam dibiarkan dilingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus
yang parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman/bakteri penyebab diare.
Sehingga balita yang menggunakan botol tersebut beresiko terinfeksi diare.
c. Menyimpan
makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada suhu
kamar, makanan akan tercemar dan kuman akan berkembang biak.
d. Menggunakan
air minum yang tercemar
e. Tidak
mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau
sebelum makan dan menyuapi anak.
f. Tidak
membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak berbahaya,
padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain
itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia.
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan
dalam golongan enam besar, tetapi yang sering ditemukan di lapangan adalah
diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Penyebab diare secara lengkap
adalah sebagai berikut : (1) infeksi yang dapat disebabkan : 1) bakteri,
misalnya : Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan
vibrio, bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus
aureus, Campylobacter dan aeromonas, b) virus misalnya : Rotavirus,
Nerwalk dan Norwalk like agen dan adenovirus, parasit,
misalnya : cacing purut, Ascaris, trichiuris, Strongyloides,
Blastsistis huminis, protozoa, entamoeba histolitica, giardia
labila, belantudium coli dan crypto, (2) alergi, (3)
malabsorbsi, (4) keracunan yang dapat disebabkan : a) keracunan bahan kimiawi
dan b) keracunan oleh bahan yang dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan,
buah-buahan dan sayur-sayuran, (5) imunodefiensi dan (6) sebab-sebab
lain (Widaya, 2004).
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air
dan elektrolit, terutama natrium dan kalium dan sering dengan asidosis
metabolik . Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan keseimbangan
serum elektrolit. Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1 % dalam sehari
merupakan hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan
apabila defisit melampaui 15 %
(Soegijanto, 2002).
3. Tanda dan Gejala Diare
Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer
dengan frekuensi empat kali atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai :
muntah, badan lesu atau lemas, panas, tidak nafsumakan, darah dan lendir dalam
kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang disebabkan
oleh virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja
berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat pula
mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala-gejala lain seperti flu
mislanya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala. Gangguan bakteri
dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah atau demam tinggi
(Amiruddin, 2007).
Menurut Ngastisyah (2005), gejala diare yang sering
ditemukan mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan
berkurang, tinja mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul
sebelum dan sesudah diare. Bila penderita banyak kehilangan cairan dan
elektrolit, gejala dehidrasi mulai Nampak, yaitu berat badan menurun, turgor
berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan
mulut serta kulit tampak kering.
Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi
akibat pengeluaran cairan tinja yang berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat
kehilangan air dan elektrolit yang melebihi pemasukannya (Suharyono, 2006).
Kehilangan cairan akibat diare menyebabkan dehidrasi yang bersifat ringan,
sedang atau berat.
4. Klasifikasi Diare
Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan
jenis diare menjadi empat kelompok yaitu :
a. Diare
akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya kurang
dari tujuh hari).
b. Disentri
yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya
c. Dare
persisten yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara terus menerus
d. Diare
dengan masalah lain , anak yang menderita diare (diare akut dan persisten)
mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit
lainnya.
Diare akut dapat mengakibatkan : (1) kehilangan air
dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolik dan hipokalemia, (2) gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan
hipovolemik sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, (3)
gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan
muntah (Soegijanto, 2002).
Diare mengakibatkan terjadinya :
a. Kehilangan
air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, dan
asidosis metabolik.
b. Gangguan
sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai
akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan
berkurang sehingga hipoksia dan asidosis metabolik bertambah berat, kesadaran
menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal.
Gangguan gizi yang terjadi akibat
keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah, kadang-kadang orang tuanya
menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada
anak atau bila makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia
akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi
atau bayi dengan gagal bertambah berat badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat
terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma
(Suharyono, 2008).
5. Pencegahan Penyakit Diare
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit
secara umum yaitu : pencegahan tingkat pertama (primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan
pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang meliputi diagnosis dini serta
pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary Prevention)
yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Nasrt, 2007).
a. Pencegahan
primer
Pencegahan
primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan
faktor penjamu. Untuk faktor penyebab dilakukan upaya agar mikroorganisme
penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan,
perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi lingkungan. Untuk
meningkatkan daya tahan tubuh dari penjamur maka dapat dilakukan peningkatan
status gizi dan pemberian imunisasi.
1) Penyedian
air bersih
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia,
bahkan hampir 70 % tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk
keperluan makan, minum, mandi, dan
pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan
kebutuhanat perorang per hari untuk
hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia,
juga dapat berperan besar dalam penularan beberapa penyakit menular termasuk
diare (Sanropie, 2004).
Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat
adalah : air permukaan yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah yang
tergantung kedalamnya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air
angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir seperti hujan dan salju (Soemirat,
2006).
Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit.
Peran air dalam terjadinya penyyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar
mikroba pathogen, sarang insekta penyebaran penyakit, bila jumlah air bersih
tidak mencukupi, sehingga orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik,
dan air sebagai sarang hospes semestara penyakit (Soemirat, 2006).
Dengan memahami daur/sirkulasi air di alam semesta
ini, maka sumber air dapat diklasifikasikan menjadi : a) air angkasa seperti
hujan dan air salju, b) air tanah seperti air sumur, mata air dan artesis, c)
air permukaan yang meliputi sungai dan telaga. Untuk pemenuhan kebutuhan
manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat dibangun bermacam-macam
saran penyediaan air bersih yang dapat berupa perpipan, sumur gali, sumur pompa
tangan, perlindungan mata air, penampungan air hujan, dan sumur artsis
(Sanropie, 2004).
Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih
harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber
air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh
meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan
pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih, dan untuk
minum air harus di masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyakit air bersih
mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakt
yang tidak mendaptkan air bersih (Andrianto, 2005).
2) Tempat
Pembuangan Tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari
kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh
berlangsungnya terhadap insiden penyakit tertentu yang penularannya melalui
tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 2003).
Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat
dan keluarga harus membuang air besar di jamban. Jamban harus dijaga dengan
mencucinya secara teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus
membuang air besar jauh dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling
kurang sepuluh meter dari sumber air bersih (Andrianto, 2005).
Tempat pembangunan tinja yang tidak memehuni syarat
sanitasi akan meningkatkan resiko terjadinya diare berdarah pada anak balita
sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasan membuang
tinjanya yang memenuhui syarat sanitasi (Wibowo, 2003). Menurut hasil
penelitian Iriantio (2006), bahwa
anak balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang
dilengkapi dengan tangki septic, prevalensi diare 7,4 % terjadi di kota dan
7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki seprtik
12,1% diare terjadi di kota dan 8,9 % di desa. Kejadian diare tertinggi
terdapat pada keluarga yang mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja,
yaitu 17,0% di kota dan 12,75 di desa.
3) Pemberian
air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi
komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk
dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk
menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan
nyaman ibu jangan memberikan cairan tambahan seperti air, air gula atau susu
formula terutama pada awal kehidupan anak. Memberikan ASI segera setelah bayi
lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI mempunyai khasiat preventif
secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya.
ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare, pemberian ASI kepada bayi
yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung empat kali lebih besar
terhadap diare dari pada enam bulan pertama kehidupannya, resiko mendapatkan
diare adalah 30 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang tidak diberikan
ASI (Depkes, 2000).
Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan
mortalitas diare lebih rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai resiko lebih
tinggi dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan huga
mendapatkan ASI, dan keduanya mempunyai resiko diare lebih tinggi dibandingkan
dengan bayi yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Resiko relatif ini tinggi dalam
bulan-bulan pertama kehidupan (Suryono, 2008).
4) Kebiasaan
mencuci tangan
Diare merupakan salah satu penyakit yang
penularannya berkaitan dengan penerapan perilaku hidup sehat. Sebagaian besar
infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut
ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung
mikroorganisme pathogen dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini,
tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan
atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke tubuh manusia.
Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini
sangat berhubungan dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi
pencemaran sumber peralatan oleh tinja serta menghalangi masuknya sumber
peralatan tersebut kedalam tubuh melalui mulut. Kebiasan mencuci tangan pakai
sabun adalah perilaku amat penting bagi paya mencgah diare. Kebiasaan mencuci
tangan diterapkan setelah buang air besar, setelah mengani tinja anak, sebelum
makan terutama yang berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol
susu, cara menyiapkan makanan serta tempat keluarga membuang tinja anak
(Howard&Bartram, 2003).
Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian
diare dikemukakan oleh Bozkurt (2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai
kebiasaan mencucu tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai resiko terkena diare. Hellen (2008) juga mendapatkan adanya
hubungan antara kebiasaan cuci tangan ibu dengan kejadian diare pada anak di
Betim- Brazil.
Anak kecil juga merupakan sumber penularan penting
diare. Tinja anak, terutama yang sedang menderita diare merupakan sumber
penularan diare bagi penularan diare bagi orang lain. Tidak hanya anak yang
sakit, anak sehat pun tinjanya juga menjadi carrier
asimptomatik yang sering kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu cara
membuang tinja anak penting sebagai upaya mencegah terjadinya diare (Sunoto,
2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aulia (2004), di Sumatera Selatan,
kebiasaan ibu membuang tinja anak di tempat terbuka merupakan faktor resiko
yang besar terhadap kejadian diare dibandingkan dengan kebiasaan ibu membuang
tinja anak di jamban.
5) Imunisasi
Diare sering timbul menyertai penyakit campak,
sehingga pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi terhadap penyakit
campak secepatnya mungkin setelah usia Sembilan bulan (Andrianto, 2005).
b. Pencegahan
Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada si
anak yang telah menderita diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan
menentukan diagnose dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk
mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare
adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi
penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti salah makan,
bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan
klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang
memberantas penyebab diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik
yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya
jangan mengkomsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan
menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diare misalnya bakteri,
parasit, pemberian kemoterapeutik memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai
petunjuk dokter (Syam F, 2006).
c. Pencegahan
Tertier
Pencegahan tingkat tiga adalah penderita diare
jangan sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada
tahap ini penderita diare diusahakan pengambilan fungsi fisik, psikologis
semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitas untuk mencegah terjadinya
akibat samping dari diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus
mengkomsumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitas juga
dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut
memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain
diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhui dan
kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman
sepermainan.
2 comments:
asslamualaikm, dri bacaan di atas sy melihat ada sumber dri hillevd 2011, sya lagi butuh daftar pustakanya, kalau punya tolong emailkn saya trimakasih :)
alamat email sy umasugi.nurhasna@yahoo.co.id
Post a Comment