1.
Mahram
1.2.
Pengertian
Mahram adalah sebuah istilah yang berarti
wanita yang haram dinikahi. Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang
haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan
kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak
langsung.
Hubungan
langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau
keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut.
Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang
lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau
wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah
berhala seperi majusi, Hindu, Buhda.
Hubungan
mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat
permanen, antara lain :
1. Kebolehan berkhalwat (berduaan)
Kebolehan bepergiannya seorang wanita
dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
2. Kebolehan melihat sebagian dari aurat
wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
1.2.
Mahram Dalam Surat An-Nisa
Allah
SWT telah berfirman dalam surat An-Nisa :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم
بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ
الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Diharamkan
atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya;
isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(QS.
An-Nisa : 23)
Dari
ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan
sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari
wanita. Mereka adalah :
§
Ibu
kandung
§
Anak-anakmu
yang perempuan
§
Saudara-saudaramu
yang perempuan,
§
Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan
§
Saudara-saudara
ibumu yang perempuan
§
Anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
§
Anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
§
Ibu-ibumu
yang menyusui kamu
§
Saudara
perempuan sepersusuan
§
Ibu-ibu
isterimu
§
Anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
§
Isteri-isteri
anak kandungmu
2.
Pembagian Mahram Sesuai Klasifikasi Para Ulama
Tentang
siapa saja yang menjadi mahram, para ulama membaginya menjadi dua klasifikasi
besar. Pertama mahram yang bersifat
abadi, yaitu keharaman yang tetap akan terus melekat selamanya antara laki-laki
dan perempuan, apa pun yang terjadi antara keduanya. Kedua mahram yang bersifat
sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah menjadi tidak mahram,
tergantung tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan syariah yang terjadi.
2.
1. Mahram Yang Bersifat Abadi
Para
ulama membagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi tiga kelompok berdasarkan
penyebabnya. Yaitu karena sebab hubungan nasab, karena hubungan pernikahan
(perbesanan dan karena hubungan akibat persusuan.
2.1.1.
Mahram Karena Nasab
§
Ibu
kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
§
Anak
wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
§
Saudara
kandung wanita.
§
`Ammat
/ Bibi (saudara wanita ayah).
§
Khaalaat
/ Bibi (saudara wanita ibu).
§
Banatul
Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki.
§
Banatul
Ukht / anak wnaita dari saudara wanita.
2.1.2.
Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan
§
Ibu
dari istri (mertua wanita).
§
Anak
wanita dari istri (anak tiri).
§
Istri
dari anak laki-laki (menantu peremuan).
§
Istri
dari ayah (ibu tiri).
2.1.3.
Mahram Karena Penyusuan
§
Ibu
yang menyusui.
§
Ibu
dari wanita yang menyusui (nenek).
§
Ibu
dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).
§
Anak
wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).
§
Saudara
wanita dari suami wanita yang menyusui.
§
Saudara
wanita dari ibu yang menyusui.
2.2.
Mahram Yang Bersifat Sementara
Kemahraman
ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu, laki-laki yang tadinya menikahi
seorang wanita, menjadi boleh menikahinya. Diantara para wanita yang termasuk
ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
2.2.1
Istri orang lain, tidak
boleh dinikahi tapi bila sudah diceraikan oleh suaminya, maka boleh dinikahi.
2.2.2.
Saudara ipar, atau
saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat
atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari
istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah
selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka ipar yang tadinya
haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Demikian juga dengan bibi dari istri.
2.2.3.
Wanita yang masih dalam masa Iddah,
yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begitu selesai
masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
2.2.4.
Istri yang telah ditalak tiga,
untuk sementara haram dinikahi kembali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah
dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya
itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi
suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
2.2.5.
Menikah dalam keadaan Ihram,
seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang
menikah atau menikahkan orang lain. Begitu ibadah ihramnya selesai, maka boleh
dinikahi.
2.2.6.
Menikahi wanita budak
padahal mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu menikahi wanita
merdeka, boleh menikahi budak.
2.2.7.
Menikahi wanita pezina.
Dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina. Sebaliknya, ketika
wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nashuha, umumnya ulama membolehkannya.
2.2.8.
Menikahi istri yang telah dili`an,
yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.
2.2.9.
Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita itu masuk Islam
atau masuk agama ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk
menikahinya.
Bentuk
kemahraman yang ini semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak
membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu
mahram yang bersifat muaqqat atau sementara. Yang membolehkan semua itu
hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.
3.
Hukum Menikahi Wanita Ahli Kitab
4.
Hukum Menikahi Wanita Yang Pernah Berzina
الزَّانِي
لَا يَنكِحُ
إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mu`min. (QS.
An-Nur : 3)
Lebih
lanjut perbedaan pendapat itu adalah sbb :
Jumhurul
Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan
untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi
wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya
mengharamkan itu ?
Para
fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
§
Dalam
hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz `hurrima` atau diharamkan di dalam ayat
itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
§
Selain
itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus
yang khusus saat ayat itu diturunkan. Yaitu seorang yang bernama Mirtsad
Al-ghanawi yang menikahi wanita pezina.
§
Mereka
mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan
ayat lainnya yaitu :
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ
مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS.
An-Nur : 32)
Pendapat
ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra
dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina.
Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah
secara syah.
Pendapat
mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :
Dari
Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina
dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau
bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak
bisa mengharamkan yang halal`. (HR.
Tabarany dan Daruquthuny).
Juga
dengan hadits berikut ini :
Seseorang
bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau
menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu
mut`ahilah dia`. (HR.
Abu Daud dan An-Nasa`i)
أن
النبي صلى الله عليه و سلم قال : لا توطأ امرأة حتى تضع
Nabi
SAW bersabda,"Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena
zina) hingga melahirkan.
(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
لا
يحل لامرئ مسلم يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقى ماءه
زرع غيره
Nabi
SAW bersabda,"Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah
dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain. (HR. Abu Daud dan Tirmizy).
Lebih
detail tentang halalnya menikahi wanita yang pernah melakukan zina sebelumnya,
simaklah pendapat para ulama berikut ini :
a.
Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam
Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah
laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya
itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh
menggaulinya hingga melahirkan.
b.
Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
Imam
Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili
tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu
melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat
lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum
bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun.
Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya
Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.
c.
Pendapat Imam Asy-Syafi'i
Adapun
Al-Imam Asy-syafi'i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang
menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana
tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II
halaman 43.
d.
Undang-undang Perkawinan RI
Dalam
Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI
no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dpat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran
anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada
saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Untuk
lebih jelasnya, silahkan baca buku : Kompilasi Hukum Islam halaman 92 .
2.
Pendapat Yang Mengharamkan
Meski
demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi
wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi
Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki
yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang
wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi
oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).
Bahkan
Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah
pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami.
Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur :
3).
Selain
itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya
rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.
Dari
Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk surga suami yang
dayyuts`. (HR. Abu
Daud)
3.
Pendapat Pertengahan
Sedangkan
pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum
bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Namun
bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada
larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara
syar`i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah dan
sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseroang yang sudah bertaubat berhak
untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.
0 comments:
Post a Comment