1.
Menentukan Kriteria
Dalam
menentukan kriteria calon pasangan, Islam memberikan dua sisi yang perlu diperhatikan.
Pertama, sisi yang terkait dengan agama, nasab, harta maupun kecantikan. Kedua,
sisi lain yang lebih terkait dengan selera pribadi, seperti masalah suku,
status sosial, corak pemikiran, kepribadian, serta hal-hal yang terkait dengan
masalah pisik termasuk masalah kesehatan dan seterusnya.
a.
Masalah Yang Pertama
Masalah
yang pertama adalah masalah yang terkait dengan standar umum. Yaitu masalah
agama, keturunan, harta dan kecantikan. Masalah ini sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW dalam haditsnya yang cukup masyhur.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا
فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena agamanya, nasabnya,
hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat (HR. Bukhari, Muslim)
Khusus
masalah agama, Rasulullah SAW memang memberikan penekanan yang lebih, sebab
memilih wanita yang sisi keagamaannya sudah matang jauh lebih menguntungkan
ketimbang istri yang kemampuan agamanya masih setengah-setengah. Sebab dengan
kondisi yang masih setengah-setengah itu, berarti suami masih harus bekerja ekstra
keras untuk mendidiknya. Itupun kalau suami punya kemampuan agama yang lebih.
Tetapi kalau kemampuannya pas-pasan, maka mau tidak mau suami harus
`menyekolahkan` kembali istrinya agar memiliki kemampuan dari sisi agama yang
baik.
Tentu
saja yang dimaksud dengan sisi keagamaan bukan berhenti pada luasnya pemahaman
agama atau fikrah saja, tetapi juga mencakup sisi kerohaniannya (ruhiyah) yang
idealnya adalah tipe seorang yang punya hubungan kuat dengan Allah SWT. Secara
rinci bisa dicontohkan antara lain :
§
Aqidahnya
kuat
§
Ibadahnya
rajin
§
Akhlaqnya
mulia
§
Pakaiannya
dan dandanannya memenuhi standar busana muslimah
§
Menjaga
kohormatan dirinya dengan tidak bercampur baur dan ikhtilath dengan lawan jenis
yang bukan mahram
§
Tidak
bepergian tanpa mahram atau pulang larut
§
Fasih
membaca Al-Quran Al-Kariem
§
Ilmu
pengetahuan agamanya mendalam
§
Aktifitas
hariannya mencerminkan wanita shalilhah
§
Berbakti
kepada orang tuanya serta rukun dengan saudaranya
§
Pandai
menjaga lisannya
§
Pandai
mengatur waktunya serta selalu menjaga amanah yang diberikan kepadanya
§
Selalu
menjaga diri dari dosa-dosa meskipun kecil
§
Pemahaman
syariahnya tidak terbata-bata
§
Berhusnuzhan
kepada orang lain, ramah dan simpatik
Sedangkan
dari sisi nasab atau keturunan, merupakan anjuran bagi seorang muslim untuk
memilih wanita yang berasal dari keluarga yang taat beragama, baik status
sosialnya dan terpandang di tengah masyarakat. Dengan mendapatkan istri dari
nasab yang baik itu, diharapkan nantinya akan lahir keturunan yang baik pula.
Sebab mendapatkan keturunan yang baik itu memang bagian dari perintah agama,
seperti yang Allah SWT firmankan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ
تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ
وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9)
Sebaliknya,
bila istri berasal dari keturunan yang kurang baik nasab keluarga, seperti
kalangan penjahat, pemabuk, atau keluarga yang pecah berantakan, maka semua itu
sedikit banyak akan berpengaruh kepada jiwa dan kepribadian istri. Padahal
nantinya peranan istri adalah menjadi pendidik bagi anak. Apa yang dirasakan
oleh seorang ibu pastilah akan langsung tercetak begitu saja kepada anak.
Pertimbangan
memilih istri dari keturunan yang baik ini bukan berarti menjatuhkan vonis
untuk mengharamkan menikah dengan wanita yang kebetulan keluarganya kurang
baik. Sebab bukan hal yang mustahil bahwa sebuah keluarga akan kembali ke jalan
Islam yang terang dan baik. Namun masalahnya adalah pada seberapa jauh
keburukan nasab keluarga itu akan berpengaruh kepada calon istri. Selain itu
juga pada status kurangbaik yang akan tetap disandang terus ditengah masyarakat
yang pada kasus tertentu sulit dihilangkan begitu saja. Tidak jarang butuh
waktu yang lama untuk menghilangkan cap yang terlanjur diberikan masyarakat.
Maka
bila masih ada pilihan lain yang lebih baik dari sisi keturunan, seseorang
berhak untuk memilih istri yang secara garis keturunan lebih baik nasabnya.
b.
Masalah Yang Kedua
Masalah
kedua terkait dengan selera subjektif seseorang terhadap calon pasanan
hidupnya. Sebenarnya hal ini bukan termasuk hal yang wajib diperhatikan, namun
Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan hidup berdasarkan
subjektifitas selera setiap individu maupun keluarga dan lingkungannya.
Intinya,
meski pun dari sisi yang pertama tadi sudah dianggap cukup, bukan berarti dari
sisi yang kedua bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal
yang tidak bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu
dan hubungannya dengan orang lain.
Sebagai
contoh adalah kecenderungan dasar yang ada pada tiap masyarakat untuk menikah
dengan orang yang sama sukunya atau sama rasnya. Kecenderungan ini tidak ada
kaitannya dengan masalah fanatisme darah dan warna kulit, melainkan sudah
menjadi bagian dari kecenderungan umum di sepanjang zaman. Dan Islam bisa
menerima kecenderungan ini meski tidak juga menghidup-hidupkannya.
Sebab
bila sebuah rumah tangga didirikan dari dua orang yang berangkat dari latar
belakang budaya yang berbeda, meski masih seagama, tetap saja akan timbul
hal-hal yang secara watak dan karakter sulit dihilangkan.
Contoh
lainnya adalah selera seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter
dan sifat tertentu. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai.
Misalnya seorang wanita menginginkan punya suami yang lembut atau yang macho,
merupakan bagian dari selera seseorang. Atau sebaliknya, seorang laki-laki
menginginkan punya istri yang bertipe wanita pekerja atau yang tipe ibu rumah
tangga. Ini juga merupakan selera masing-masing orang yang menjadi haknya dalam
memilih.
Islam
memberikan hak ini sepenuhnya dan dalam batas yang wajar dan manusiawi memang
merupakan sebuah realitas yang tidak terhindarkan.
2.
Melihat Langsung Calon Yang Terpilih
Seorang
muslim apabila berkehendak untuk menikah dan mengarahkan niatnya untuk meminang
seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia
mulai melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi perkawinannya
itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga dengan
demikian, dia akan dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu
yang tidak diinginkan.
Ini
adalah justru karena mata merupakan duta hati dan kemungkinan besar bertemunya
mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Dari
Abu Hurairah ra berkata `Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian
tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan
seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia
mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena
dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.` (Riwayat Muslim)
Dari
Mughirah bin Syu`bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi
SAW mengatakan kepadanya:`Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin
untuk mengekalkan kamu berdua.` Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua
perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi
tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar
dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu
supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan
kemudian mengawininya.
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).
Dalam
hadis ini Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat, baik
kepada Mughirah maupun kepada lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada yang
berpendapat: yang boleh dilihat yaitu muka dan dua tapak tangan, tetapi muka
dan dua tapak tangan yang boleh dilihat itu tidak ada syahwat pada waktu tidak
bermaksud meminang. Dan selama peminangan itu dikecualikan, maka sudah
seharusnya si laki-laki tersebut boleh melihat lebih banyak dari hal-hal yang
biasa. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda dalam salah satu hadisnya
sebagai berikut:
عَنْ
جَابِرٍ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ
يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا
فَلْيَفْعَلْ - رَوَاهُ أَحْمَدُ
وَأَبُو دَاوُدَ
Apabila
salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia
dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya,
maka kerjakanlah. (HR
Ahmad dan Abu Daud)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ t أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً : أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ قَالَ : لا . قَالَ : اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا
Dari
Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi
wanita,"Apakah kamu sudah pernah melihatnya?". "Belum",
jawabnya. Nabi SAW bersabda,"Pergilah melihatnya dahulu". (HR. Muslim)
3.
Batasan Dalam Melihat
Sementara
ulama ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan batas yang boleh
dilihat, dan sementara ada juga yang ekstrim dengan mempersempit dan keras.
Tetapi yang lebih baik ialah tengah-tengah. Justru itu sebagian ahli penyelidik
memberikan batas, bahwa seorang laki-laki di zaman kita sekarang ini boleh
melihat perempuan yang hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat
oleh ayah dan mahram-mahramnya yang lain.
Selanjutnya
mereka berkata: bahwa si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut
dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian
menurut ukuran syara` ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui
kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua ini termasuk kata sebagian
yang disebut dalam hadis Nabi di atas yang mengatakan: `... kemudian dia dapat
melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk mengawininya.`
Dibolehkan
juga si laki-laki melihat perempuan dengan sepengetahuan keluarganya; atau
samasekali tidak sepengetahuan dia atau keluarganya, selama melihatnya itu
bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah tentang
isterinya: `Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia.`
Bahkan
dari hadis Mughirah di atas kita tahu, bahwa seorang ayah tidak boleh
menghalang-halangi anak gadisnya untuk dilihat oleh orang yang berminat hendak
meminang dengan dalih tradisi. Sebab yang harus diikuti ialah tradisi agama,
bukan agama harus mengikuti tradisi manusia.
Namun
di balik itu, seorang ayah dan laki-laki yang hendak meminang maupun perempuan
yang hendak dipinang, tidak diperkenankan memperluas mahramnya, seperti yang
biasa dilakukan oleh penggemar-penggemar kebudayaan Barat dan tradisi-tradisi
Barat. Ekstrimis kanan maupun kiri adalah suatu hal yang amat ditentang oleh
jiwa Islam. ÿ
0 comments:
Post a Comment