Monday, February 25, 2013

Pengaruh Hormon Terhadap Kenaikan Berat Badan dan Cara Mengatasinya

Banyak orang yang berhasil menurunkan berat badan setelah diet ketat dan olahraga rutin. Tapi tak sedikit pula yang kembali gemuk, bahkan bobot tubuhnya bertambah dua kali lipat.

Mempertahankan berat badan ideal memang lebih sulit daripada mendapatkannya, dan rata-rata orang menganggap ada yang salah dalam pola makan mereka. Padahal, penyebab kenaikan berat badan tak selalu karena pola makan yang salah, tapi juga reaksi yang dihasilkan oleh hormon-hormon dalam tubuh Anda sendiri. Apa saja pengaruh hormon terhadap kenaikan berat badan?

1. Hormon dapat Memperlambat Metabolisme
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh University of Melbourne seperti dikutip dari Health Me Up, ditemukan fakta bahwa perubahan hormon yang terus terjadi selama setidaknya setahun menjalani diet penurunan berat badan dapat memperlambat metabolisme dan meningkatkan nafsu makan.

Berkurangnya lemak secara drastis dalam tubuh mengakibatkan turunnya tingkat hormon yang dihasilkan dari sel lemak (leptin) sehingga metabolisme tubuh ikut menurun dan mengakibatkan naiknya nafsu makan yang berujung pada kenaikan berat badan. Oleh karena itu, sangat disarankan mengurangi berat badan secara bertahap dan perlahan agar metabolisme tubuh tetap stabil.

2. Diet Tidak Dapat Mengalahkan Hormon yang Menaikkan Berat Badan
Orang yang melakukan penurunan berat badan secara drastis justru tingkat nafsu makannya akan naik. Hal tersebut terjadi karena pembakaran kalori yang lebih sedikit serta peran hormon dalam menciptakan rasa lapar.

3. Hormon pada Masa Pubertas atau Menopause
Tingkat hormon estrogen dan progesteron yang terus naik-turun selama masa pubertas atau menopause mengakibatkan berubahnya gaya hidup dan mengurangi aktivitas fisik karena rasa lesu yang dirasakan, sehingga memperlambat metabolisme tubuh yang kemudian mengakibatkan banyak wanita pada tahap tersebut cenderung mengalami kenaikan berat badan. Untuk itu, penting sekali untuk tetap menjaga gaya hidup yang aktif dan sehat selama masa pubertas atau menopause.

4. Hormon Genetik
Jangan khawatir jika Anda memiliki anggota keluarga bertubuh gemuk, karena walaupun bersifat genetik dan tidak bisa dikontrol secara mudah dengan diet namun hal tersebut dapat Anda hindari dengan cara yang benar. Caranya adalah dengan menjauhi makanan yang diproses seperti pasta, nasi putih, ataupun roti tawar karena dapat meningkatkan jumlah insulin dalam tubuh yang merupakan hormon penyebab kenaikan berat badan. Jika cara tersebut tidak berhasil, cobalah melakukan pemeriksaan hormonal yang berbasis tiroid untuk memastikan apakah hormonal dalam tubuh Anda seimbang atau tidak.

Yang Perlu Diketahui Sebelum Memilih Produk Pemutih Kulit

Kebanyakan orang menggunakan produk whitening karena dua alasan. Alasan pertama adalah merawat kulit dari masalah seperti bintik hitam, bekas jerawat, atau warna kulit tidak merata karena hormon. Sedangkan alasan kedua untuk mencerahkan warna kulit yang gelap.

Anda mungkin mengenal beberapa produk pemutih kulit seperti krim pemutih, whitener, pencerah kulit atau krim untuk menyamarkan noda pada kulit. Produk-produk tersebut bekerja dengan cara mengurangi pigmentasi atau disebut juga melanin pada kulit.
Namun tak banyak orang yang tahu, kandungan kimia dalam produk ini juga memiliki risiko. Untuk itu, ketahui dulu beberapa hal sebelum Anda menggunakan produk-produk pemutih kulit tersebut.

Sebelumnya, Anda perlu tahu bagaimana warna kulit tiap orang bisa berbeda. Hal ini dikarenakan banyaknya melanin atau pigmen yang diproduksi sel-sel khusus di lapisan dasar kulit yang disebut melanosit. Oleh karena itu, mereka yang memiliki warna kulit lebih gelap cenderung memiliki lebih banyak melanin.

Berapa banyak melanin yang diproduksi seseorang juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Namun selain gen, faktor-faktor lainnya seperti paparan sinar matahari, hormon, kerusakan kulit, dan bahan kimia tertentu, juga akan mempengaruhi produksi melanin dalam kulit.

Biasanya perubahan warna kulit akan kembali normal seiring waktu. Misalnya saja, orang yang kulitnya kecoklatan karena terlalu lama berjemur di pantai, lama-kelamaan warna gelap itu akan memudar ketika paparan sinar matahari pada kulit semakin berkurang. Namun terkadang, bintik hitam karena usia bisa menjadi lebih banyak bahkan permanen.

Untuk mendapatkan kulit putih bersih dan bebas masalah tersebut, berbagai produk perawatan kecantikan baik itu dengan resep dokter atau yang dijual bebas kini telah banyak beredar di pasaran. Beberapa produk tersebut mengandung bahan aktif atau kombinasi dari bahan-bahan yang dapat mengurangi jumlah melanin dalam kulit. Bahan yang terbilang aman dan paling banyak digunakan di pasaran adalah hydroquinone. Normalnya, produk pemutih kulit mengandung 2%-4% hydroquinone.

Bahan pemutih lain yang juga banyak digunakan adalah obat-obatan seperti steroid dan asam retinoat, yang berasal dari vitamin A, sebagai bahan aktif. Dan beberapa pencerah kulit menggunakan bahan-bahan alami seperti asam kojic (suatu senyawa yang berasal dari jamur) dan arbutin (senyawa yang ditemukan dalam berbagai tanaman).

Selain bahan-bahan tersebut, ada pula beberapa produk yang rentan karena mengandung bahan aktif merkuri. Apabila dipakai terus menerus bisa menyebabkan masalah kulit yang serius, bahkan sampai kanker kulit. Untuk itu, kini beberapa negara sudah tidak memperbolehkan kandungan merkuri dalam rangkaian produk kosmetik.

Disarankan, bagi Anda yang ingin mendapatkan kulit putih dari produk-produk yang dijual bebas dipasaran, pastikan produk tersebut tidak mengandung merkuri. Atau konsultasikan dengan dokter spesialis sebelum Anda mencoba rangkaian suatu produk pemutih.

Tuesday, February 19, 2013

Penyakit TBC


Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia.
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.

1.Penyebab Penyakit TBC

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).

2. Cara Penularan Penyakit TBC

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.


Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.

 

 

3. Gejala Penyakit TBC

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

A. Gejala sistemik/umum

  • Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
  • Penurunan nafsu makan dan berat badan.
  • Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
  • Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

B. Gejala khusus

  • Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
  • Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
  • Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
  • Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

4. Penegakan Diagnosis

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
  • Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
  • Pemeriksaan fisik.
  • Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
  • Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
  • Rontgen dada (thorax photo).
  • Uji tuberkulin.



 

 

 5.PENGOBATAN TBC

Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
  1. Pencegahan (profilaksis) primer
    Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+).
    INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-).
    Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
  2. Pencegahan (profilaksis) sekunder
    Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC.
    Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
  • Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
    Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
  • Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

 

6. Dosis obat antituberkulosis (OAT)

Obat
Dosis harian
(mg/kgbb/hari)
Dosis 2x/minggu
(mg/kgbb/hari)
Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari)
INH
5-15 (maks 300 mg)
15-40 (maks. 900 mg)
15-40 (maks. 900 mg)
Rifampisin
10-20 (maks. 600 mg)
10-20 (maks. 600 mg)
15-20 (maks. 600 mg)
Pirazinamid
15-40 (maks. 2 g)
50-70 (maks. 4 g)
15-30 (maks. 3 g)
Etambutol
15-25 (maks. 2,5 g)
50 (maks. 2,5 g)
15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin
15-40 (maks. 1 g)
25-40 (maks. 1,5 g)
25-40 (maks. 1,5 g)
Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia – WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TBC di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan.
Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari.
Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat.
Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TBC dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant). Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan).
a. Pengobatan TBC pada orang dewasa
  • Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
    Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan).
    Diberikan kepada:
    • Penderita baru TBC paru BTA positif.
    • Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
  • Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
    Diberikan kepada:
    • Penderita kambuh.
    • Penderita gagal terapi.
    • Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
  • Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
    Diberikan kepada:
    • Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

b. Pengobatan TBC pada anak

Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu:
  1. 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
  2. 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb.



Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus:
TB tidak berat

INH
: 5 mg/kgbb/hari

Rifampisin
: 10 mg/kgbb/hari
TB berat (milier dan meningitis TBC)

INH
: 10 mg/kgbb/hari

Rifampisin
: 15 mg/kgbb/hari

Dosis prednison
: 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg)

7. OBAT TBC

Tuberkulosis (TBC) dapat menyerang berbagai organ tubuh tetapi yang akan dibahas adalah obat TBC untuk paru-paru. Tujuan pengobatan TBC ialah memusnahkan basil tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Idealnya pengobatan dengan obat TBC dapat menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada uji dahak maupun biakan kuman dan hasil ini tetap negatif selamanya.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
  • Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
    Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
  • Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.
Meskipun demikian, pengobatan TBC paru-paru hampir selalu menggunakan tiga obat yaitu INH, rifampisin dan pirazinamid pada bulan pertama selama tidak ada resistensi terhadap satu atau lebih obat TBC primer ini.

8. Isoniazid

Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang disingkat dengan INH. Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri).
Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstrasi oleh metanol dari mikobakterium.
Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak diperoleh dalam waktu 1–2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma. Namun, perbedaan ini tidak berpengaruh pada efektivitas dan atau toksisitas isoniazidbila obat ini diberikan setiap hari.

9.Efek samping

Mual, muntah, anoreksia, letih, malaise, lemah, gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer, neuritis optikus, reaksi hipersensitivitas, demam, ruam, ikterus, diskrasia darah, psikosis, kejang, sakit kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6, penyakit pellara, hiperglikemia, asidosis metabolik, ginekomastia, gejala reumatik, gejala mirip Systemic Lupus Erythematosus.

10. Resistensi

Resistensi masih merupakan persoalan dan tantangan. Pengobatan TBC dilakukan dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat tunggal akan cepat dan mudah terjadi resistensi. Disamping itu, resistensi terjadi akibat kurangnya kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu terapi yang cukup lama yaitu antara 6–9 bulan sehingga pasien banyak yang tidak patuh minum obatselama menjalani terapi.
Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe TBC. Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti piridoksin (vitamin B6).
TB vit B6 sudah mengandung isoniazid dan vitamin B6 dalam satu sediaan, sehingga praktis hanya minum sekali saja. TB vit B6 tersedia dalam beberapa kemasan untuk memudahkan bila diberikan kepada pasien anak-anak sesuai dengan dosis yang diperlukan. TB Vit B6 tersedia dalam bentuk:
  1. Tablet
    Mengandung INH 400 mg dan Vit B6 24 mg per tablet
  2. Sirup
    Mengandung INH 100 mg dan Vit B6 10 mg per 5 ml, yang tersedia dalam 2 kemasan :

Perhatian:

  • Obat TBC di minum berdasarkan resep dokter dan harus sesuai dengan dosisnya.
  • Penghentian penggunaan obat TBC harus dilakukan atas seizin dokter.
 
Subjektif :
Ø  ibu mengatakan anaknya umur 4 tahun
Ø  Batuk terus menerus lebih dari 4 minggu,
Ø  Badan lemah,
Ø tidak mawu makan,
Ø  Gejala
Ø  Kontak dengan penderita TBC

Objektif :
Ø  Dahak bercampur darah
Ø  Sesak nafas dan rasa nyeri dada,
Ø  Badan lemah,
Ø  Demam derajat rendah, )
Ø  Uji tuberculin (+)

Assessment :
Anak usia 4 tahun dengan TBC
Ds : anak batuk terus menerus lebih dari 4 minggu,badan lemas, anoreksia,
       Adanya gejala flu,batuk dengan dahak bercmpur darah, sesak nafas, ada
       Riwayat kontak dengan penderita TBC.   

Planning :
a.pencegahan
1.Pencegahan (profilaksis) primer
Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+).
INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-).
Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
2.Pencegahan (profilaksis) sekunder
Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC.
Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.
b.Pengobatan
Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu:
  1. 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
  2. 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb.

TEORITIS MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN MENURUT VARNEY

Proses Manajemen Menurut Helen Varney (1997)
Varney 1997 menjelaskan bahwa proses manajemen merupakan proses pemecahan masalah yang ditemukan oleh perawat dan bidan pada awal tahun 1970-an. Proses ini memperkenalkan sebuah metode dengan perorganisasian pemikiran dan tindakan-tindakan  dengan urutan yang logis dan menguntungkan baik bagi klien maupun  bagi tenaga kesehatan. Proses ini menguraikan bagaimana perilaku yang diharapkan dari pemberi asuhan. Proses manajemen ini bukan hanya terdiri dari pemikiran dan tindakan saja melainkan juga perilaku pda setiap langkah agar pelayanan comprehensive dan aman dapat tercapai.
Dengan demikian proses manajemen harus mengikuti urutan yang logis dan memberi pengertian  yang menyatukan pengetahuan,hasil temuan, dan penelitian yang terpisah-pisah menjadi satu kesatuan yang berfokus pada manajemen klien.
Proses manajemen terdiri dari 7 (tujuh) langkah yang berurutan dimana setiap langkah disempurnakan secara periodic. Proses dimulai dengan pengumpulan data dasar dan berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk suatu kerangka lengkap yang diaplikasikan dalam situasi apapun. Akan tetapi setiap langkah dapat diuraikan menjadi langkah-langkah yang lebih rinci dan bias berubah sesuai dengan kebutuhan klien.
Adapun langkah manajemen varney, yaitu
Langkah I  Pengumpulan data dasar
Yaitu dilakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data yang diperlukan untuk mengevaluasi keadaan klien secara lengkap, yaitu riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, meninjau catatan terbaru dan sebelumnya dan meninjau data laboratorium dan membandingkan dengan hasil studi.

Langkah II Interpretasi Data Dasar
Yaitu dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnose dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan sehingga ditemukan masalah atau diagnose yang spesifik.

Langkah III  Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
Yaitu mengidentifikasi masalah dan diagnose potensial berdasarkan rangkaian masalah dan diagnose yang sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil mengamati kilen bidan diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnose atau masalah ini benar-benar terjadi.

Langkah IV  Mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan yang memerlukan
                     penanganan segera
Pada langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses manajemen kebidanan yaitu bukan hanya asuhan kunjungan prenatal saja tetapi juga selama wanita tersebut bersama bidan. Beberapa data yang dikumpulkan dapat menunjukkan satu situasi yang memerlukan tindakan segera, seperti konsultasi atau kolaborasi dengan dokter.
Langkah V  Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen langkah-langkah sebelumnya.

Langkah VI  Pelaksanaan
Dilakukan asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah kelima secara efisien dan aman. Perencanaan ini bias dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh klien atau anggota tim kesehatan lainnya.

Langkah VII  Evaluasi
Dilakukan evaluasi keevektivan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar terpenuhi karena ada kemungkinan bahwa sebagian rencana telah efektif sedang sebagian belum efektif.